Ass…..
Ini adalah satu lagi cerpen karya salah satu Alumni ke-17 pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, selamat Membaca……… 🙂
TUHAN BERIKAN NAFASKU
Oleh: Fachri Parlaungan
(ALUMNI KE- 17 PESANTREN AR-RAUDHATUL HASANAH)
Juara II
Lomba Penulisan Cerpen 25 tahun Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah
Dan kami yakin kami bukan sendiri, yang akan menapak bumi, dan menatap langit,dan mengatakan, betapa kejamnya dunia.
Tetapi kami adalah seribu, seribu hati yang siap bersatu untuk saling membantu, dan bersiap untuk maju.
Dan ingat Bila seseorang menginginkan sesuatu, ia akan rela menunggu, walau jangka waktu yang sangat lama.
Dan katakanlaah pada dunia, kami bukan penakut, yang takut hidup, dan takut mati.
Teapi kami adalah pedang, yang akan selau siap menerjang, dan dengan berani kami menyatakan, kami bukan “pecundang”.
Plak…plak..plak, terdengar gemuruh tepuk tangan dari siswa-siswi sekolah SMA Nurul Ilmi pada acara resepsi perpisahan kelas akhir SMA Nurul Ilmi. Pembacaan kata perpisahan memang salah satu bagian dari acara resepsian tiap tahunnya.
Pada angkatan ke-17 ini, Hasbilah yang terpilih sebagai pembaca kata perpisahan, Hasbi memang terkenal dengan kata-kata mutiaranya dan keahilannya dalam menyusun kata, kata yang membawa orang terbawa kedalamnya, dan menjadikannya sebagai motivasi hidupnya, semua ini berkat dukungan ayah dan Ibunya, Hasbi sangat menyayangi ayah dan Ibunya, atau mungkin karena ia anak tunggal..!?, tapi ia memang sangat menghormati atau menghargainya, orang tuanya alah motivasi bagi hidupnya, keRidhoannya , adalah harapan baginya, karena ia yakin keRidhoan Tuhannya ada dalam keridhaan kedua orang tuanya, ia berjanji pada dirinya, ia tak akan kembali dari perantauan nanti, sebelum ia sukses nantinya.
Acara resepsian pada resepsian tahun ini berjalannya dengan lancar, walau suasana agak sedikit mendung, dan terkadang gerimis turun, tidak mengurangu kemeriahan dan keharmonisan acara tersebut, acara bertepatan di laksanakan pada hari minggu, sehingga memudahkan wali siswa-siswi yang jauh untuk datang.
Setelah acara perpisahan selesai, siswa-siswi melai sibuk dengan pendidikan selanjutnya, ada yang memutuskan untuk bergeliat dengan si cacing tanah, karena mereka menganggap kuliah itu hanta untuk menambah cari embel-embel saja, atau hanya sekedar gengsi-gengsian, tapi itu hanya sebagian kecil, kebanyakan para alumni mendaftarkan dirinya ke USM (Universitas Sains Malaysia) Penang dengan lokasi yang cantik di dataran hingga pulau penang dan pemandangan laut lepas yang mempesona.
“Bi…, melamun aja, tuh lihat kopimu udah dingin”, sentak Ridho
“Eh kamu dho, buat kaget aja, darimana..? eh rialnya mana?”, Tanya Hasbi samBil mengaduk kembali kopinya.
“Dari depan nganterin Bu lilis ke pengajian, kalo rial nganterin adeknya ke Darul Qura”.
jawab ridha samBil duduk dan melerakkan tas ranselnya di atas meja.
“Ngomong-ngomong kejadianya kapan?”, tanya Ridho.
“Insya Allah tiga hari lagi”, jawab Hasbi lalu meminum kopinya.
“Eh Dho, memang benar kamu ngak mau kuliah?”, tanya Hasbi pada teman karibnya tersebut, teman yang ia kenal dari sekulah pendidikan taman kanak-kanak dan si rial “seniman vap ikan asin”.
Teman memang mempunyai kedudukan sengat penting bagi kehidupan, entah apa jadinya hidup seseorang tanpa kehadiran seseorang teman. Tentu akan terasa hampa dan sepi, tapi kita merasa terlindungi lewar keberadaan teman disekeliling kita. Mereka menjadi tempat kita berteduh dari ketidak ramahan hidup, begitu juga sebaliknya keberadaan keberadaan kita baginya. Hasbi, Ridho, dan Rial seniman cap ikan dan tak ada lagi si Hasbi yang keras kepala.
“Bi, Bukannya aku gak mau, tapi aku tak sanggup untuk membayar perkuliahan nantinya, mending jadi guru ngaji, sudah lumayan Hasbi dari pada kuliah!” ujar Ridho dengan ekspresi meyakinkan. Dan meminum hAbis kopi milik Hasbi, Hasbi hanya terpelengok melihatku.
“Dho, nampaknya kamu haus sekali!”
“memang iya!”.
“aku pesan lagi ya, pak teh dinginya satu!” teriak Hasbi.
“eh Bi, nanti siapa yang bayar?”
“tenang saja, semua aku yang bayar, mumpung masih disini!”, ujar Hasbi samBil menepuk sakunya.
“makasih ya Bi”
Hasbi hanya tersenyum melihat sahabatnya Ridho, lagi-lagi ia terbayang akan kata-katanya ketika resepsi kemarin, ia takut matinya ia akan menjadi pecundang, yang takut hidup dan takut mati.
***
Sengatan mataari pun mulai menampakkan arti hidup, sengatan yang mengartikan hidup itu tidak mudah, sengatan yang akan pernah ramah, kecuali bagi orang-orang yang mengetahui arti hidup yang sebenarnya. Sengatan itu terasa pada ketiga sahabat tersebut, Ridho masih sibuk dengan lantunan huruf ijaiyahnya, yang ia ajarkan pada anak-anak yang akan menjadi pemimpin islam nantinya, dan mengibarkan bendera islam di tanah ilahinya. Sedangakan Rial masiih sibuk dengan Fakultas Seni rupanya, ia sangat berniat membuka sanggar seni nantinya, dan akan menjadi seniman seperti Ki Raden Soleh, Basoeki, Affandi, ataupun seniman-seniman lainnya.
Sedangkan Hasbi masih sibuk dengan fakultas psikologoinya. Dan mereka pun mulai mengetahui makna hidup, Bila kita hanya merasa hidup kita tidak bernilai, tidak punya arti, dengan kata lain, kita merasa hidup kita ini hampa dan sia-sia, orang yang sampai seperti ini, jiwanya akan terasa galau dan pada titiknya, ia akan berpikir bahwa hidupyang tidak berguna dan mungkin leBih baik kalau dirinya tidak hidup di dunia ini.
***
kuteringat hati, yang bertabur mimpi, kemana kau pergi.., terdengar suara nada dering sebelum cahaya, khas nada dering telepon genggam Hasbi yang memecahkan konsentrasinya ketika belajar, tiba-tiba merasa darahnya berdesir, berdesir kencang dan mengalir ke seluruh tubuhnya, ada sesuatu yang ganjil dalam perasannya, tak seperti Biasanya, ia sambut telpon genggamnya yang tak jauh dati meja belajarnya, ia raih dengan tangan bergetar dan perasaan yang cemas.
“Halo, Assalamu’alaikum”
“Wa’ alaikum salam”
“Bisa Bicara dengan Hasbi”, desir darahnya pun semakin kencang, sepertinya ia mengenal suara ini, suara ini sangat akrab baginya, tiba-tiba denyut jantungnya berdetak kencang, tak tau entah kenapa, rasa cemas pun mulai menyusup ke seluruh tubuhnya.
“Ini, ini Hasbi, ini siapa?”,tanya Hasbi mencoba untuk tenang, tenang, dan seenang mungkin.
“Ini Paman hasan Bi”, terdengar suara Paman sangat resah.
“Begini Bi, Paman harap kamu jangan kaget, dan kamu harus tabah, dan tidak mengamBil tindakan gegabah” terdengar kembali suara Paman hasan begitu resah dan memelan.
Hasbi pun semakin cemas dan resah, pori-porinya terbuka lebar, keringatnya pun mengalir bercucuran, panas dingin pun mulai menyusup ke seluruh tubuhnya.
“Apa maksud dari perkataan Paman? Bisik Hasbi dari dalam hatinya.
“Iya, iya Paman Hasbi ngak tau, apa maksud dari perkataan Paman dari tadi”, terdengar suara Hasbi seperti tak kontrol diri.
“Bi, ayah, ayah dan ibumu kecelakaan tadi malam setelah pulang dari pengajian, Paman sudah berusaha menghubungimu berkali-kali, tapi HP mu tidak aktif”, Hasbi pun tidak dapat mengendalikan diri, seakan akan langit runtuh dan menimpa dirinya, dan ia terjatuh denganlinangan air mata yang mengalir dari sudut matanya.
“Lalu bagaimana keadaan mereka sekarang?”, tanya Hasbi kuatir dengan mata yang masih basah dan membasahi pipinya.
“Maaf Bi, kata dokter mereka tak dapat di selamatkan lagi, ayah, ayah, sudah meningal dunia, Paman harap kamu harus tabah, Paman sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Bi,Bi,Bi, halo Bi!?”.
Tak tersasa Hasbi sudah melepaskan Hpnya, ia tak kontrol diri, ia tertunduk di atas lantai samBil mengenggam erat rambut lurusnya lalu menendang dan melempar barang-barang yang ada di sekitarnya, linangan air mata pun mengalir begiru deras, Hasbi terbayang pada cita-citanya yang diinginkan kedua orang tuanya, dengan kesuksesannya di fakultas psikologis terbayang pada harapan-harapan hidupnya, yang tak akan kembali sebelum sukses nantinya, terbayang akan perkataannya yang menyatakan kami bukan penakut , yang hidup dan takut mati dan menyatakan kami bukan “pecundang”. Sepasang matanya itu masih tetap basah dan membengkak, tak tau, apa yang sebenarnya ia harus tangisi, ia membutuh teman untuk membagi, membagi kisah sedih dan luka yang dialami untuk “Ridho,Rizal?!”, tiba-tiba dunia pun gelap, gelap dan sangat gelap.
Langit pun menunjukkan sebercak cahaya senjanya, yang mengartikan kekuasaan sang pencipta, walauun terkadang makhluknya tak pernah mau tau itu miliknya, kecuali bagi makhluknya yang merasakan dan hanya untuknya semata.
***
Seminggu sudah di lewatkannya, ujian semester sudah di laluinya tetapi ia masih mengingat musibah yang menimpa kedua orang tuanya. Hasbi pun meraih telpon genggamnya, dan menghubungi Pamannya.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”
“Paman, aku mau putuskan untuk pulang ke padang, sepertinya aku ngak enak badan”, terdengar suara Hasbi memelah lemas dan mata yang masih membengkak setelah kejadian tujuh hati yang lalu.
“Bagaimana dengakn kuliahmu?”, tanya Paman.
“Kami libur semester bulan ini”, jawab Hasbi masih dengan suara lemas.
“Ya udah, kamu tunggu di terminal, Paman akan menjemputmu”.
“Baik Paman, Assalamu’ alaikum”
“Wa’alaikum salam”.
Terik dan sengatan matahari mulai menunjukkan kekejaman dunia ia tak tahu apakah dunia benar-benar kejam, atau karena nalurinya yang mengatakan”Aku memeang pecundang”.
Perjalanan dari kediri ke oadang memang sangat melelahkan, Bisa jadi 3 atau4 hari dlam perjalanan, tapi itulah hidup, harus berjuang dan pantang mundur.
***
hari demi hari telah berlalu, Hasbi masih tetap sana diam, wajah kosong tanpa ekspresi masih tersirat pada wajah yang pucat, seakan-akan, ada dorongan pada dirinya untuk berBicara dan mengatakan “mana jati diriku”. Sang Paman pun Bingung melihatnya, ia teringat dengan ayah Hasbi, abang kandungnya, ayah Hasbi sangatlah tegar dan tabah orangnya, santun pada orang lain, dan penyabar, ia tak tau apakah Hasbi sama dengan ayahnya, lalu Paman pun teringat dengan kertas ayah Hasbi yang ia temukan terslip di buku kerja ayahnya.
“Bi..,” sentak Paman dari lamunannya, lalu duduk disampingnya.
“Kamu kenapa Bi..? kalau ada masalah Bilang sama Paman, barang kali Paman Bisa mengatasinya”.
Hasbi hanya diam, diam, dan …
“Paman” Hasbi pun mengangkat suaranya, walau terdengar pelan.
“Aku tak tau apa yang sebenarnya aku pikirkan, aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada diriku, aku tak tahu apa yang sedang kusedihkan”, Terdengar suara Hasbi meninggi dan setetes air mata pun mengalir dari sepasang mata yang nampak memucat itu.
“Bi.., sepertinya kamu masih memikirkan kejadian itu, maafkan apAbila Paman kurang memperhatikanmu, ini Paman menemukan kertas milik ayahmu, Paman temukan terselip di antara buku kerja ayahmu”.
Hasbi pun menerima surat tersebut dan membacanya.
ya Tuhan, berikanlah hamba seorang putra yang cukup kuat untuk menemui kelemahan, tabah dan bangga dalam kekaalhan, jujur rendah hati dalam kemampuan .
Berikanlah hamba seseorang yang putra yang mampu mewujudkan cita-cita, dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angan saja.
Seorang putra yang sadar, bahwa mengenalmu dan mengenal diri nya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan.
Ya Tuhan, janganlah pimpin putraku di dalam jalan yang mudah dan lunak,namun tuntutlah ia dijalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan.
Tak terasa mata Hasbi mengalirkan air mata yang begitu deras dan sangat deras, lalu ia pun mengusapnya dengan punggung tangannya, lalu melanjutkan bacaannya.
BimBinglah ia untuk tegak dalam phara dan rasa kasih kepada mereka yang tidak berdaya, ajarilah ia untuk berhati tulus dan bercita-cita tinggi, mampu memimpin orang lain.
Berikanlah hamba seseorang putra yang mengetahui makna tawa ceria tanpa melupakan tangis dan luka.
Dan akhirnya Bila semua ini telah terwujud, hamba ayahnya akan memberanikan diri memBisik “hidupku tdak sia-sia”
Isak tangisan pun tak dapat di tahannya dan mengusapnya lagi dengan punggung tanggannya.
“Bi, Allah itu maha pengasih lagi maha penyayang, dan ia maha adil, Allah tidak akan menurunkan atau memberikan cobaan pada hambanya , kecuali karena memang sanggup, dan kuat untuk menahannya”, jelas pada Hasbi mencoba membantu.
“Bi, yang berlalu Biarlah berlalu nanti kamu di beri musibah leBih dari ini, kamu Bisa saja kufur dan mungkin akan berpaling darinya”.
“Bi, ingat, hidup itu tak selalu seperti yang dimau dan yang diharapkan,apa arti hidup Bila tidak ada masalah-masalah yang selalu ada”.
“Bi, ini bukan kiamat bangkit, kabulkan harapan ayahmu!” suara Paman mulai meninggi, Hasbi masih tetap menangis, ia teringat dengan ayahnya yang kurus.
“Bi, ingat kisah nAbi ayyub AS, ketika borok dan belatung yang menggorok seluruh tubuhnya, hampir sekujur tubuhnya hAbis dimakan. Lalu ia berkata “ya Tuhan, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan engkau adalah Tuhanku yang maha penyayang di antara semua penyayang. Dan ia meminta untuk tidak menghAbiskan hati dan lisannya. Karena ia takut Bila hatinya tidak ada lagi nanti, ia mungkin akan kufur dan berpaling darinya, dan apAbila lisannya tidak ada lagi nanti, tak ada lagi semenanjung munajat cinta di setiap tahajudnya, ia hanya meminta itu saja, coba Bila masalah ini ada pada dirimu, tentu kamu tak akan kuat.”
“Hik..,hik..,hik…” terdengar isakan Hasbi semakin kuat, dan membanjiri pipi kusutnya, ait mata yang memberi kehidupan kembali, pada dirinya.
“Maafkan aku Paman..!”, peluk Hasbi pada Pamannya, sang Pamanpun menyambut dengan bahagia, tak terasa air mata sang Paman ikut mengalir, mengalir membasahi pipinya yamg keriput dan tua, air mata kebahagiaan dari dirinya.
“Aa..aa..aa, sakit Paman, sakit”.
“Bi, kamu kenapa ?”tanya Paman kaget.
Tiba-tiba Hasbi mengerang kesakitan samBil memegang dada kirinya, rasa sakit yang sangat menyakitkan, ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menahan rasa sakit tersebut, tetapi Hasbi tak kuasa menahan rasa sakit itu, tasa sakit yang membuka pori-porinya dan mengeluarkan butiran-butiran keringatnya, rasa sakit yang membuat dunia sekaan-akan terbalik dan runtuh menimpa sekujur tubuhnya, ia teringat kembali dengan kertas milik ayahnya, yang menghadapkan seorang anak yang mampu mewujudkan cita-cita dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angan saja. Dan pada kata-katanya bahwa ia bukan penakut, yang takut hidup dan takut mati, dan ia tak tahu apakah akhir hidupnya adalah sebagai pecundang, pecundang yang mati karena hal-hal yang disesalkan.
Oh Tuhan…, apakah ini yang dinamakan kematian, menahan rasa sakit yang begitu mendalam, melemparkan ruh dan raga dengan paksaan, oh Tuhan aku tak kuasa.
Tiba-tiba dunia gelap, gelap dan sangat gelap, menghilang karena bersama seluruh cahayanya. Dan menelan keresahan dan menghamparkan kesunyian, kesunyian hati, kesunyian kehidupan, kesunyian harapan. Dan kembali hatunya berBisik “AKU TAK MAUMATI SEBAGAI PECUNDANG”.
Langit pun menunjukkan kembali sengatannya, sengatan yang mengartikan hidup itu tidaklah mudah. Dan akan menunjukkan kekuasaannya, di kala senjanya pun tiba, senja dikala sengatan tersebut mulai ditundukkan, menundukkan segala perasaan dan rasa sakit hidup, dan semua itu hanya dapat diartikan olehnya, hambanya yang mengetahui bahwa hidup, dan semua itu hanya dapat diartikan olehnya, hambanya yang mengetahui bahwa hidup hanya miliknya semata.
***
Hasbi masih tertidur dan tertidur, sudah dua hari Hasbi pingsan, dan belum sadarkan diri setelah menahan rasa sakit di dadanya, Paman langsung melarikannya ke rumah sakit, dan langsung diinfus hingga menghAbiskan 9 botol infus, kata dokter, kata dokter, Hasbi terkena serangan jantung akibat stress dan gangguan batin yang dialaminya. Paman hasan masih terus menangis, ia takut akan terjadi apa-apa dengan Hasbi,selama dua hari Paman menjaga Hasbi dari tidurnya nanti, tak ada seorang pun yang berada disampingnya, di sampingnya untuk menemani dalam sedih dan sakitnya.
“Hasbi, betapa berat cobaan yang harus kamu hadapi”, Bisik sang Paman dalam hatinya, Paman pun teringat dengan kertas milik ayah Hasbi yang berharap putranya tidak dipimpin didalam jalan yang mudah dan lunak, namun tuntutlah ia dijalan yang penuh hambatan dan godaan kesulitan dan tantangan.
Kembali tetesan air mata sang Paman mengalir dari sudut matanya.
“Hasbi, kuatkanlah dirimu dari segala cobaan ini, kabulkanlah harapan ayahmu, harapan teman-temanmu, Paman yakin, kamu akan berhasil dari cobaan ini”.
Hasbi masih tetap tidur dan tidur dalam heningnya, dari dalam tidurnya, Hasbi melihat hamparan padang rumput nan hijau dan begitu asri dengan udara yang begitu sejuk, sejuk dan sejuk sekali, dan dihiasi pohon cemara disekelilingnya, dan langit nampak sangat bersahabat, dan pakaian serba putih yang ia kenakan, tapi ia heran mengapa ia disini sendiri disini. “Tiba-tiba”
“Bi………..”, ia terkejut, seseorang memegang pundaknya, terdengar suara yang begitu akrab di telinganya , Hasbi pun membalikkan badannya.
“Ridho…,rial…”, tetesan air mata kerinduan pun terpecah di mata mereka, lalu memeluknya.
“Mang ngapain kalian disini? Tapi kita ada dimana?” tanya Hasbi heran. Dengan mata yang masih basah, dan ia leBih heran lagi melihat mereka memakai pakaian serba putih.
“Kami datang untuk menjemputmu, membangunkanmu dari alam resahmu” ujar rial, Hasbi masih tetap menangis, menangis dan menangis.
“Bi, kamu masih ingat dengan kata-kata perpisahanmu, bahwasanya, kita yakin, kita bukan sendiri, yang akan menapaki bumi, dan menatap langit, dan mengatakan, betapa kejamnya dunia, tetapi kita adalah seribu, seribu hati yang siap bersatu, untuk saling membantu, dan bersiap untuk maju. Dan ingatkah kamu apa yang kamu katakan, Bial seseorang , menginginkan sesuatu, ia akan rela menunggu, walau jangka waktu yang sangat lama. Dan bersama kita katakan pada dunia, bahwa kita bukan penakut, yang takut hidup dan takut mati.
Tetapi kita adalah pedang, yang akan siap menerjang, dan dengan berani kita menyatakan kita bukan pecundang. Tetesan air mata pun terus mengalir dari bola mata Hasbi, Ridho dan rial, dan terkadang Hasbi terisak-isak.
“Bi…, kamu tidak sendirian dunia ini, masih ada aku dan Ridho yang akan menuntunmu untuk hidup”, ujar rial.
“Bukan kami saja, tetapi seluruh teman-temanmu, teman-teman kita,” Ucap Ridho.
Isakan air mata Hasbipun meledak.
“Ridho…Real…”.
Hasbi pun memeluk kedua sahabatnya lagi, Ridho dan rial pun tak tahan menahan ledakan tangisan tersebut, Ridho dan rial pun memeluk erat, seerat persahabatan mereka, tiba-tiba Hasbi melihat dari kejauhan segerombolan orang-orang berbondong mendekati mereka, dengan memakai pakaian serba putih sama, dan ia lihat wajah itu tak asing baginya.
“Aji…..,Mamat….,Sholeh….,Lina….,teman-teman!”, senyum Hasbi pun mengembang dan disertai air mata kebahagiaan, wajah-wajah itu pun tersenyum, menyambut senyum bahagia Hasbi.
Tiba-tiba dunia kembali gelap, gelap dan gelap sekali, dan mata Hasbi pun tergerak dari tidurnya. Ia buka matanya perlahan-lahan, dan ia melihat dengan samar-samar.
“Ridho…,Rial…,” Hasbi terkejut melihat Ridho dan rial sudah berada di sampingnya, bukan hannya Ridho dan rial, tapi aji, mamat, sholeh, ina dan teman-temannya, hingga kamar yang ia tempati pun padat sampai keluar, linangan air mata pun mengalir kembali ke pipi susutnya.
“Bi, kamu lama sekali bangunnya, kami sudah lama menunggumu”, tak terasa air mata Ridho dan rial pun meluncur dari sudut mata mereka berdua, air mata kebahagiaan.
“Si.., siapa yang menghu….”
“Paman hasan yang menghubungi kami, katanya kamu sakit parah”, potong rial sebelum Hasbi menyelesaikan kata-katanya.
“karena Paman yakin hanya persahabatan dan kesabaran yang dapat menyembuhkanmu, motivasi dan Ridho, dukungan dari rial karena sahabat itu bagaikan air minum yang tak akan pernah terlepas dari kita, yang akan memberi kekuatan disetiap kehausan, dan memberi pertolongan disetiap kesusahan, dan sahabat itu juga bagaikan pasak dan tiang yang akan saling melengkapi, untuk berdiri kokoh menghadap langit, dan mengetahui bahwa di dunia ini, ia bukan sendiri.
“Dan ingat , tidak ada kekuatan yang leBih besar dari keyakinan, tak ada dorongan leBih besar dari rasa cinta, dan tidak ada penolong yang leBih sejati dari kesabaran”.
Isakan air mata Hasbi menundukkan sengatan teriknya, dan menunjukkan sebercak cahaya senja yang begitu menarik indahnya, yang menunjukkan kekuatan sang pencipta, kekuasaan yang tiada tara, dan ia pun dapat memahami, bahwasanya Allah itu maha pengasih lagi maha adil.
Hasbi pun kembali tersenyum
Seakan akan Tuhannya memberikan nafasnya kembali.
Nafas kehidupan.
Nafas harapan.
Wassalam
Komentar Terbaru